IKHTILAF DALAM BERMAZHAB
Makna khilaf dan ikhtilaf
Jadi makna Khilaf dan Ikhtilaf adalah: adanya perbedaan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa Khilaf dan Ikhtilaf mengandung makna yang sama.
Namun ada juga ulama yang membedakan antara Khilaf dan Ikhtilaf,
Ikhtilaf: perbedaan dengan dalil.
Khilaf: perbedaan tanpa dalil
.
Maka selalu kita mendengar orang mengatakan,“Ulama ikhtilaf dalam masalah ini"
atau ungkapan“Ini adalah masalah Khilafiyyah”.
Maksudnya, bahwa para ulama tidak satu pendapat dalam masalah tersebut.
Contoh Ikhtilaf Ulama Dalam Memahani Nash:
Allah Swt berfirman:
ومسحوا برءوسكم
"Dan usaplah kepalamu" (Q.s al-maidah [5] )
Dalam hal ini para ulama' berbeda pendapat dalam memahami nash
°mazhab Hanafi
Wajib mengusap seperempat kepala, sebanyak satu kali, seukuran ubun-ubun, diatas dua daun telinga, bukan mengusap ujung rambut yang dikepang/diikat. Meskipun hanya terkena air hujan, atau basah bekas sisa air mandi, tapi tidak boleh diambil dari air bekas basuhan pada anggota wudhu’ yang lain, misalnya air yang menetes dari pipi diusapkan ke kepala, ini tidak sah.
°madzhab maliki
Wajib mengusap seluruh kepala. Orang yang mengusap kepala tidak mesti melepas ikatan rambutnya dan tidak mesti mengusap rambut yang terurai dari kepala. Tidak sah jika hanya mengusap rambut yang terurai dari kepala. Sah jika mengusap rambut yang tidak turun dari tempat yang diwajibkan untuk diusap. Jika rambut tidak ada, maka yang diusap adalah kulit kepala, karena kulit kepala itulah bagian permukaan kepala bagi orang yang tidak memiliki rambut. Cukup diusap satu kali. Tidak dianjurkan mengusap kepala dan telinga beberapa kali usapan.
°Mazhab Hanbali
Seperti Mazhab Maliki, dengan sedikit perbedaan:
1. Wajib mengusap seluruh kepala hanya bagi laki-laki saja. Sedangkan bagi perempuan
cukup mengusap kepala bagian depan saja, karena Aisyah mengusap bagian depan
kepalanya.
2. Wajib mengusap dua daun telinga, bagian luar dan bagian dalam daun telinga, karena
kedua daun telinga itu bagian dari kepala. Sebagaimana hadits riwayat Ibnu Majah,
“Kedua telinga itu bagian dari kepala”.
°madzhab syafi'i
Wajib mengusap sebagian kepala. Boleh membasuh kepala, karena membasuh itu berarti usapan dan lebih dari sekedar usapan. Boleh hanya sekedar meletakkan tangan di atas kepala, tanpa menjalankan tangan tersebut di atas kepala, karena tujuan mengusap kepala telah tercapai dengan
sampainya air membasahi kepala.
Dari permasalahan di atas dapat disimpulkan bahwa:
Pertama,
mazhab bukan agama. Tapi pemahaman ulama terhadap nash-nash (teks) agama
dengan ilmu yang ada pada mereka. Dari mulai pemahaman mereka tentang ayat, dalil hadits,
‘urf, sampai huruf Ba’ yang masuk ke dalam kata. Begitu detailnya.
Oleh sebab itu slogan
“Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”, memang benar, tapi apakah setiap orang memilikikemampuan? Apakah semua orang memiliki alat untuk memahami al-Qur’an dan Sunnah seperti pemahaman para ulama?! Oleh sebab itu bermazhab tidak lebih dari sekedar bertanya kepada orang yang lebih mengerti tentang suatu masalah,
mengamalkan firman Allah Swt
“Maka hanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”.
(Qs. an-Nahl [16]: 43).
Kedua,
ikhtilaf mereka pada furu’ (permasalahan cabang), bukan pada ushul (dasar/prinsip).
Mereka tidak ikhtilaf tentang apakah wudhu’ itu wajib atau tidak. Yang mereka perselisihkan
adalah masalah-masalah cabang, apakah mengusap itu seluruh kepala atau sebagiannya saja?
Demikian juga dalam shalat, mereka tidak ikhtilaf tentang apakah shalat itu wajib atau tidak?
Semuanya sepakat bahwa shalat itu wajib. Mereka hanya ikhtilaf tentang cabang-cabang dalm shalat, apakah basmalah dibaca sirr atau jahr? Apakah mengangkat tangan sampai bahu atau telinga? Dan sejeninsya.
Ketiga,
tidak membid’ahkan hanya karena beda cara melakukan. Yang mengusap seluruh kepala
tidak membid’ahkan yang mengusap sebagian kepala, demikian juga sebaliknya. Selama
perbuatan itu masih bernaung di bawah dalil yang bersifat umum.
Makna Madzhab.
Makna Mazhab secara bahasa adalah موضع الذهاب : Tempat pergi
Sedangkan Madzhab menurut istilah adalah:
Hukum-hukum syar’i yang bersifat far’i dan ijtihadi yang dihasilkan dari dalil-dalil yang bersifat zhanni oleh seorang mujtahid secara khusus.
Para Imam Mazhab.
1. Abu Sa’id al-Hasan bin Yasar al-Bashri, Imam al-Hasan al-Bashri (w.110H).
2. An-Nu’man bin Tsabit, Imam Hanafi (w.150H).
3. Abu ‘Amr bin Abdirrahman bin ‘Amr, Imam al-Auza’i (w.157H).
4. Sufyan bin Sa’id bin Masruq, Imam Sufyan ats-Tsauri (w.160H).
5. Imam al-Laits bin Sa’ad (w.175H).
6. Malik bin Anas al-Ashbuhi, Imam Malik (w.179H).
7. Imam Sufyan bin ‘Uyainah (w.198H).
8. Muhammad bin Idris, Imam Syafi’i (w.204H).
9. Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Imam Hanbali (w.241H).
10. Daud bin Ali al-Ashbahani al-Bahdadi, Imam Daud azh-Zhahiri (w.270H).
11. Imam Ishaq bin Rahawaih (w.238H).
12. Ibrahim bin Khalid al-Kalbi, Imam Abu Tsaur (w.240H).
Namun tidak semua mazhab ini bertahan. Banyak yang punah karena tidak dilanjutkan oleh para ulama yang mengembangkan mazhab setelah imam pendirinya wafat. Oleh sebab itu yang populer di kalangan Ahlussunnah-waljama’ah adalah empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Bahkan Syekh Abu Bakar al-Jaza’iri menyusun kitab Fiqhnya dengan judul al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah (Fiqh menurut empat mazhab).
Ikhtilaf tidak hanya terjadi pada masa generasi khalaf (belakangan). Kalangan Salaf
(generasi tiga abad pertama Hijrah); para shahabat Rasulullah Saw, Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in juga Ikhtilaf dalam masalah-masalah tertentu.
Jadi dapat kita ambil kesimpulan
Pertama,
bahwa ikhtilaf dalam memahami nash (teks) bukan perkara baru, sudah terjadi ketika
Rasulullah Saw masih hidup, kemudian berlanjut hingga zaman shahabat setelah ditinggalkan Rasulullah Saw, hingga sampai sekarang ini. Maka yang perlu dilakukan bukan menghilangkan ikhtilaf, seperti rendah hatinya Imam Malik yang tidak mau memaksakan Mazhab Maliki, tapi memahami ikhtilaf sebagai dinamika dan kekayaan khazanah keilmuan Islam, selama ikhtilaf itu dalam masalah furu’, bukan masalah ushul, sebagaimana yang dicontohkan para Shalafusshaleh diatas.
Kedua,
berbeda dalam masalah furu’ tidak menyebabkan ummat Islam saling membid’ahkan. Karena Imam Ahmad bin Hanbal tidak membid’ahkan Imam Syafi’i dan para pengikutnya hanya karena mereka membaca doa Qunut pada shalat Shubuh. Kecenderungan membid’ah orang lain
ketika berbeda pendapat, ini berbahaya.
Ketiga,
seperti yang diwasiatkan al-Imam asy-Syahid Hasan al-Banna,
نعمل فيما اتعقنا ونعتذر فيما اختلعنا
“Mari beramal pada perkara yang kita sepakati, dan mari berlapang dada menyikapi perkara yang kita ikhtilaf di dalamnya”.
Wallahu a'lam
Comments
Post a Comment