Cahaya Ilmu dalam Surah al-‘Alaq
Surah al-‘Alaq merupakan permulaan turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad ﷺ. Saat itu beliau berusia empat puluh tahun, sedang menyendiri di Gua Hira, mengasingkan diri dari hiruk pikuk masyarakat Quraisy yang dipenuhi kemusyrikan. Dalam kesunyian itu, Malaikat Jibril datang membawa firman Allah yang pertama: “Iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq.” Perintah yang sederhana, namun menyimpan makna yang sangat dalam: bacalah, dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.
Pilihan kata pertama dari wahyu ini menunjukkan bahwa Islam diletakkan di atas fondasi ilmu. Allah tidak memulai risalah-Nya dengan kewajiban shalat, zakat, atau jihad, melainkan dengan dorongan untuk membaca dan belajar. Ini menegaskan bahwa sebelum melangkah pada ibadah yang lain, manusia perlu terlebih dahulu memiliki ilmu yang benar. Tanpa ilmu, ibadah tidak akan sempurna; tanpa ilmu pula, kehidupan sosial tidak akan teratur dengan adil.
Namun, perintah membaca tidak berhenti pada sekadar aktivitas intelektual. Allah menegaskan bahwa membaca harus dilakukan “dengan nama Tuhanmu.” Ilmu yang dipelajari manusia harus selalu terkait dengan keimanan, sehingga tidak melahirkan kesombongan dan penyesatan, tetapi justru menumbuhkan ketundukan kepada Sang Pencipta. Ilmu yang membawa manusia jauh dari Allah hanyalah kesia-siaan, sedangkan ilmu yang mengingatkan manusia pada Allah akan menjadi cahaya yang membimbing jalan hidupnya.
Firman Allah berikutnya berbicara tentang pena: “Yang mengajar manusia dengan pena, mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya.” Pena di sini melambangkan peradaban. Dengan pena, ilmu bisa ditulis, disimpan, dan diwariskan. Sejarah Islam membuktikan, peradaban muslim mencapai kejayaannya karena adanya tradisi menulis, mencatat, dan menyebarkan ilmu. Dari pena lahirlah kitab-kitab tafsir, hadis, fiqih, kedokteran, astronomi, dan berbagai bidang pengetahuan yang menjadi cahaya peradaban dunia.
Peristiwa turunnya wahyu pertama juga memperlihatkan metode pendidikan yang penuh kesabaran. Nabi Muhammad ﷺ yang ummi, tidak bisa membaca dan menulis, pada awalnya menjawab Jibril, “Aku tidak bisa membaca.” Namun Jibril tetap membimbing, mengulang perintah, dan mendekap beliau hingga akhirnya Nabi mampu melafalkan ayat-ayat itu. Dari sini kita belajar bahwa proses pendidikan tidak bisa tergesa-gesa. Ia membutuhkan pengulangan, kesabaran, dan kasih sayang dari pendidik, sekaligus kesungguhan dari peserta didik.
Pesan Iqra’ sebenarnya bukan hanya untuk Nabi, melainkan juga untuk seluruh umat manusia. Membaca di sini mencakup membaca ayat-ayat Allah yang tertulis dalam Al-Qur’an, dan juga membaca ayat-ayat Allah yang terbentang dalam alam semesta. Kedua jenis bacaan ini akan mengantarkan manusia pada pemahaman yang utuh tentang hidup dan semakin mengenal kebesaran Allah.
Di zaman modern ini, ilmu berkembang sangat cepat. Teknologi melaju, informasi mudah diakses, dan pengetahuan semakin luas. Namun, kemajuan itu bisa menjadi bumerang bila tidak disertai iman. Ilmu yang tercerabut dari nilai ilahiah berpotensi menghancurkan kemanusiaan itu sendiri. Karena itu, pesan Surah al-‘Alaq tetap relevan: ilmu harus selalu diikat dengan iman, agar ia benar-benar menjadi cahaya, bukan kegelapan.
Surah al-‘Alaq mengajarkan bahwa ilmu adalah pintu kebangkitan umat, pena adalah simbol peradaban, pendidikan membutuhkan kesabaran, dan semua itu harus berakar pada iman. Inilah kunci agar manusia dapat hidup mulia di dunia dan selamat di akhirat.
Comments
Post a Comment